Pelaksanaan Ujian Skripsi Jurusan Musik Gereja Tahun Ajaran 2022/2023
11/11/2022Pelaksanaan Ujian Skripsi Jurusan PKAUD Tahun Ajaran 2022/2023
18/11/2022Sebelum kekristenan masuk ke tanah Batak, terdapat satu kepercayaan yang sudah berkembang disana yaitu ugamo malim (agama malim), penganutnya disebut parmalim yang berpusat kepada Debata Mulajadi Nabolon (Sang Khalik Maha Besar). Dan pada perkembangannya, pemimpin kepercayaan ini adalah keluarga Raja Sisingamangaraja, sebab hanya Sisingamangaraja dipandang sebagai perantara orang Batak dengan Debata Mulajadi Nabolon. Perkembangan selanjutnya adalah setelah kematian Raja Sisingamangaraja XII, pemimpin kepercayaan ini dilanjutkan oleh datu (dukun) yang dipercayai mempunyai wibawa untuk meneruskan ugamo malim.
Melihat keadaan yang demikian, Sir Thomas Stamford Raffles menginginkan agar misi penginjilan masuk kesana. Menurut Gubernur Jenderal Inggris di Asia, wilayah itu perlu dikristenkan dengan menakar berbagai pertimbangan strategis. Meskipun sarat dengan muatan politik, dikirimkanlah tiga missionaris dari Baptis Mission Society of England ke Tapanuli, yaitu Richard Burton, Nathaniel Ward dan Evans. Pada tahun 1824, mereka mulai melakukan penjelajahan penginjilan dengan sasaran utama daerah Danau Toba. Pada tanggal 4 Mei 1824 di daerah Silindung, mereka disambut dengan ramah oleh Raja-raja di Silindung, namun mereka terpaksa mundur karena pada tahun itu juga Inggris menarik diri dari Sumatera dan pemerintah Belanda menolak untuk memberi izin bekerja kepada warga negara inggris itu.
Pada tahun 1834, dua orang penginjil yang ditugaskan kongsi Zending Amerika, Henry Lyman dan Samuel Munson, masuk ke Tanah Batak, mereka memiliki misi yang sama dengan pendahulunya. Pada tanggal 28 Juni 1834, di daerah perbatasan Lobu Pining, kedua missionaris ini dicegat dan dibunuh oleh penduduk setempat. Kematian kedua penginjil ini kemudian dimanfaatkan oleh kolonialisme Belanda dalam rangka politik devide et impera dengan propaganda bahwa orang Batak pemakan manusia (kanibalisme). Dan pada tahun yang sama Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918) lahir di Jerman Utara yang merupakan tokoh utama dalam sejarah Pekabaran Injil di tengah bangsa Batak.
Pada usia 20 tahun, Nommensen berangkat ke RMG (Rheinische Missionsgesellchaft) di Barmen, untuk dapat menjadi seorang pekabar Injil. Lalu ia dididik di wisma RMG di Barmen dan pada tahun 1861, ia berangkat ke Sumatera. Setelah perjalanan selama 142 hari, ia tiba di Padang dan dipekerjakan dalam wilayah kekuasaan Belanda. Ia tidak menyetujui strataegi teman-temannya dan ketaatan mereka terhadap larangan pemerintah untuk masuk ke pedalaman. Ia berniat menyiarkan agama Kristen bukan dari pinggir, melainkan dari pusat Tapanuli. Dengan maksud itulah pada permulaan tahun 1864 ia pindah ke Silindung.
Dalam tahun-tahun permulaan, banyak kesulitan dan bahaya yang harus diatasi. Orang menyangka bahwa Nommensen adalah seorang mata-mata “sibottar mata”, yang hendak menaklukkan bangsa Batak yang merdeka itu. Mereka berusaha mengusirnya, tetapi karena Nommensen seakan-akan terpaku pada tempat ia menetap, maka mereka hendak membunuhnya. Puncak upaya pengusiran itu adalah pada perayaan Pesta bolon (pesta besar) di Onan Sitahuru yang dalam perayaan tersebut akan memberikan persembahan atau sesajen kepada Debata Mulajadi Nabolon di Siatas Barita. Persembahan yang diberikan biasanya seekor kerbau yang disembelih. Maka Sibaso (pengantara manusia dengan makhluk halus) sesudah kerasukan menyuruh khalayak ramai untuk membunuh Nommensen yang memang pada saat itu sudah direncanakan untuk dibunuh. Namun upacara tersebut terganggu dan kacau setelah cuaca yang tiba-tiba berubah dengan turunnya hujan dan halilintar. Lalu Nommensen tampil dan berbicara dihadapan orang banyak: “Roh yang berbicara melalui orang itu bukan roh debata mulajadi nabolon ataupun nenek moyangmu melainkan roh jahat. Masakan moyangmu menuntut darah salah seorang keturunannya.” Segera Sibaso jatuh ke tanah dan Nommensen tidak diganggu lagi oleh siapapun.
Dalam menjalankan misinya di Silindung, Nommensen banyak mengalami tantangan. Namun ia ditolong oleh salah seorang Raja disana, yaitu Raja Pontas Lumbantobing. Raja Pontas menguji Nommensen dengan sebuah pertanyaan yang puitis tetapi mengandung banyak makna. Lalu dengan tanggapnya, Nommensen menjawab semua pertanyaan dari si Raja Pontas. Setelah itu, perlahan Raja Pontas menaruh rasa percaya kepada Nommensen dan terjalinlah hubungan persahabatan diantara keduanya. Raja Pontas Lumbantobing (yang kemudian menjadi raja Batak pertama yang dibaptis) telah menyanggupi untuk mengantarkan Nommensen dari Barus ke Silindung dengan syarat diberi pernyataan tertulis bahwa dirinya tidak dianggap bertanggungjawab atas keselamatannya.
Dalam pergaulan orang Batak yang tidak aman dan kebuasan penduduk setempat terhadap yang lain, membuat mereka takut akan bencana kalau menyambut orang asing yang tidak memelihara adat. Raja-raja di Silindung mula-mula tidak mau menjual tanah kepadanya untuk membangun rumah. Mereka datang ke tempat tinggalnya untuk menyampaikan kepadanya kata-kata yang menyakitkan hati. Beberapa kali nyawa Nommensen melalui serangkaian usaha pembunuhan yang dilakukan kepadanya. Pada suatu malam, ketika raja-raja itu kembali ke kediaman Nommensen, mereka tinggal begitu lama sehingga mengantuk dan tertidur. Lalu Nommensen mengambil selimut dan menutupi badan mereka agar tidak kedinginan. Pada pagi harinya, mereka merasa malu. Melihat kasih yang begitu besar, mereka tak dapat bertahan lagi menghadapi Nommensen, sehingga mereka bertobat.
Penolakan raja-raja Batak terhadap Nommensen bukan saja karena dia adalah orang asing yang tidak memelihara adat, tetapi juga adanya kekhawatiran bahwa Nommensen akan menjadi perintis jalan bagi Belanda yang sudah berkuasa di pantai dan di Selatan. Berbeda dengan Raja Pontas, ia menyadari bahwa mereka tidak kuat lagi mempertahankan adat dan kemerdekaan mereka terhadap kuasa-kuasa yang mendesak masuk yaitu agama Islam dan Kristen di satu pihak dan pemerintah Belanda di pihak lain. Dalam situasi yang seperti itu, penampilan Nommensen yang tidak memakai kekerasan yang menunjukkan jalan untuk mengatasi keadaan perang dan bunuh membunuh, namun menghormati sebagian besar tata hidup mereka itu tidak bisa tidak menimbulkan rasa hormat dan simpati dalam hati raja-raja itu.
Meski demikian, dalam tahun-tahun pertama, Nommensen tidak dapat hidup dengan damai. Perang antar kampung terus berkecamuk, bisa saja Nommensen di tengah jalan bertemu dengan tangan kanannya memegang kepala musuh yang sudah dipenggal. Ditambah lagi dengan diusirnya orang Kristen pertama (dibaptis pada 27 Agustus 1865) dari kampung halamannya karena tidak lagi mau memberi sumbangan untuk upacara agama-agama suku. Nommensen mengumpulkan mereka di dalam satu kampung tersendiri yang diberi nama Huta Dame (kampung damai). Setelah 7 tahun melakukan penginjilan, orang Kristen Batak berjumlah 1.250 jiwa dan pada tahun 1918, tercatat 185.731 orang Kristen di wilayah kerja RMG di Sumatera utara. Selama masa itu, Nommensen yang menjadi pelopor dan pemimpin karya RMG di Sumatera utara, mula-mula selaku zendeling senior kemudian juga secara formal, sebab pada tahun 1881, RMG mengangkatnya menjadi Ephorus (Pimpinan pucuk HKBP). Jabatan tersebut dia pegang sampai akhir hayatnya (23 Mei 1918). Nommensen juga mempunyai gelar dari orang Batak yaitu Ompu (dibaca Oppu) yang artinya kakek.
Tak bisa dipungkiri bahwa hati Nommensen sangat keras untuk memberitakan Injil di tanah Batak yang penduduknya juga tidak kalah keras. Ini dibuktikan dengan mampunya orang Batak mempertahankan adat dan kepercayaannya di tengah-tengah penyebaran Islam di daerah Padang dan Aceh dan juga gempuran dari Belanda. Namun juga mampunya Nommensen menerobos benteng yang keras itu dengan kasihnya yang tulus, sehingga Injil bertumbuh di tengah-tengah masyarakat Batak yang kemudian meluas ke seluruh pelosok di Tanah Batak.
Untuk mengenang Nommensen, HKBP bekerja sama dengan gereja Nordstrand di Jerman mendirikan sebuah salib diatas sebuah batu tempat Nommensen pertama kali memandang ke arah Silindung dari atas bukit Siatasbarita. Salib inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya monumen Salib Kasih seperti yang ada sekarang ini. Pada bulan Oktober 1993, pemerintah daerah Kabupaten Tapanuli Utara yang pada waktu itu dipimpin oleh bapak Lundu Panjaitan. Beliau memprakarsai/menggagas pembangunan Monumen Salib Kasih setinggi 31 Meter di puncak bukit Siatasbarita Tarutung. Monumen Salib Kasih ini disangga dan ditopang oleh 3 tiang raksasa sebagai lambang Trinitatis yakni Bapa, Anak dan Roh Kudus.