Moderasi Beragama: Membangun Jembatan Dialog
20/06/2023Workshop Pengembangan Kompetensi Dosen Dilingkungan STAKPN Sentani Tahun 2023
23/06/2023Adrianus U. Sarwuna
(Mahasiswa Jurusan Teologi, STAKPN Sentani)
Darurat ekologi tengah menjadi isu yang hangat dan mengemuka dewasa ini, sekaligus menjadikannya sorotan utama dalam berbagai diskursus keilmuan. Dekadensi ekologi kontemporer yang kian pelik, tampaknya telah menyita atensi serius serta memantik kerisauan masyarakat luas. Situasi ini kian terasa nyata seiring dengan meningkatnya intensitas eksploitasi alam yang destruktif dan tidak bertanggung jawab oleh manusia. Hal ini disinyalir bertitik tolak dari interpretasi liar dan tidak bertanggung jawab dalam memaknai pola interaksi manusia dengan alam. Interpretasi liar ini selanjutnya menggiring manusia untuk menciptakan skema relasi yang sedemikian rasis, sadis, dan brutal terhadap alam.
Bryan L. Moore dalam kajiannya “Ecological Literature and the Critique of Anthropocentrism” semakin mengukuhkan persoalan dimaksud bahwa, manusia menjadi kurang bijak dalam memaknai keselarasannya dengan alam, sehingga cenderung bertindak menghancurkan yang begitu masif terhadap alam. Memang sulit disangkal bahwa potret buruk ekologi hari-hari ini, baik dalam skala global maupun nasional, mayoritas didasari oleh faktor perilaku manusia.
Nelson Buck merisaukan adanya gaya hidup manusia kontemporer yang kian serakah dan materialistis tanpa diimbangi oleh konsistensi akan keseimbangan ekologis. Lebih jauh, menurutnya, menghancurkan kelestarian alam sejatinya adalah menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Memang benar yang dikatakan Hubert Reeves “Manusia adalah spesies yang paling gila, dia memuja Tuhan yang tidak terlihat dan menghancurkan alam yang terlihat, tanpa menyadari bahwa alam yang ia hancurkan adalah Tuhan yang ia sembah”.
Kemelut semacam ini tentu tidak dibiarkan berlarut dan urgen untuk disuarakan, mengingat dekadensi ekologi kontemporer yang kian pelik seakan menggelar karpet merah bagi kiamat ekologi yang tak terelakkan. Menyitir pikiran Borrong, manusia tidak dapat menjinakkan alam, sekali pun manusia merasa unggul terhadap alam. Kegentingan untuk mengakhiri dekadensi ekologi yang kian mencemaskan telah mendorong integrasi antara ekologi dan kebhinnekaan sebagai upaya mengkonstruksi gagasan untuk menemukan pola pertobatan ekologis yang mengedepankan kelestarian alam dengan pendekatan moderasi beragama.
Harmoni dan Konservasi (Interfaith Dialogue)
Realita ekologi kontemporer bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Dalam konteks ini, diperlukan sebuah kolaborasi dalam pencarian akan esensi yang menelisik relasi spesifik antara Tuhan, manusia, dan alam, yang keterkaitannya digambarkan lewat imajinasi harmoni manusia dengan alam. Sebagai wujud pembaharuan ekologi, semua agama dituntut untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi sebuah pendekatan yang lebih bersikap dan beretika dalam memaknai keterhubungan manusia dengan alam sebagai suatu keutuhan ciptaan.
Hal ini memungkinkan untuk memahami dan menghormati keyakinan, praktik, dan pandangan agama lain dalam konteks konservasi alam. Lewat pendekatan ini, nilai-nilai, ajaran, dan perspektif agama lain tentang pentingnya merawat alam dapat dipahami, dan saling pengertian ini kemudian membuka pintu bagi terciptanya kerja sama yang lebih efektif dan terarah dalam upaya konservasi.
Interfaith dialogue mendorong kontribusi setiap agama untuk saling memahami dan berkomitmen kemaslahatan manusia dan keberlanjutan alam. Interfaith dialogue membuka ruang bagi agama untuk saling berbagi perspektif, dan menekankan pentingnya mencari titik tengah yang memungkinkan keseimbangan antara kepentingan manusia dan perlindungan alam. Meminjam kutipan Paul Knitter, kemelut ekologi mengharuskan kita untuk membumikan solidaritas, sekali pun kita telah nyaman dalam kepelbagaian. Kita patut mengupayakan apa yang dapat mempersatukan kita untuk mengatasi penderitaan yang menguras kehidupan segenap ciptaan.
Interfaith dialogue dalam spirit kebhinnekaan menyajikan sebuah percikan gagasan yang moderat terhadap liyan dalam tindakan konservasi yang adil dan hormat terhadap alam. Interfaith dialogue tidak berhenti pada sebuah konsep, namun lebih menitikberatkan pada keterbukaan dengan agama lain, guna menelisik persamaan nilai-nilai keadaban dalam konteks merawat ciptaan, dan mempersempit ruang gerak sikap intoleransi dan tindakan diskriminatif. Dalam konteks interfaith dialogue manusia wajib mempertemukan antara visi moderasi dan visi etika ekologis guna menjawab problematika gerakan ekologi kontemporer dan menciptakan lingkungan yang inklusif dan moderat.