Seminar Proposal Skripsi Jurusan Teologi TA 2022/2023
19/06/2023Moderasi Beragama: Merawat Harmoni dan Toleransi Dalam Masyarakat Multikultural di Papua
20/06/2023Soleman G. Sipkely (Mahasiswa Jurusan Teologi, STAKPN Sentani)
“Ketika politisasi agama melahirkan kekerasan atas nama agama, maka agama bisa menjadi sebuah ideologi yang melahirkan ‘kesadaran palsu’ (false consciousness)”.
~Prof. Dr. Cornelis Lay, MA
(Guru Besar Universitas Gadjah Mada)
Moderasi beragama menjadi konsep yang sangat relevan dalam konteks masyarakat Indonesia. Sebagai negara beragama dan berketuhanan, penting bagi kita untuk membangun kerukunan dan saling menghormati antar umat beragama. Namun, realita hari-hari ini, acapkali kita melihat adanya gesekan antar umat beragama yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Dalam kajian Cornelis Lay (2009) ditemukan bahwa Indonesia menjadi suatu wilayah yang sangat “produktif” dalam hal kekerasan atas nama agama. Olehnya itu, Lay mengklasifikasikan berbagai variasi kekerasan di Indonesia, antara lain: (1) kekerasan yang berlangsung dalam ranah agama yang sama; (2) kekerasan yang melibatkan agama yang berbeda; dan (3) kekerasan satu kelompok agama terhadap kelompok lain yang melakukan aktivitas yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama.
Ketika agama menjadi ideologi, maka Karl Marx mengatakan “agama adalah candu” (religion is oppium), dimana manusia mengalami gejala keterasingan (alienation). Marx mengartikan ideologi sebagai ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah, padahal tidak sah.
Karena itu, Kementerian Agama Republik Indonesia gencar mengkampanyekan moderasi beragama untuk menarik perhatian banyak pihak. Secara mengejutkan, gagasan moderasi beragama diakui oleh semua agama resmi Indonesia. Memang, sangat penting untuk mengelola kehidupan beragama di Indonesia dalam budaya heterogen dengan mempromosikan pandangan agama yang moderat.
Argumen Emanuel Gerrit Singgih bahwa moderasi beragama harus diterapkan bagi semua, dan bukan hanya bagi penganut agama tertentu saja. Sebab Abdullah, (2017) menegaskan moderasi beragama bukan berarti meniadakan perbedaan agama atau menjadikan agama tidak relevan dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, moderasi beragama mengajarkan kita untuk memperlakukan agama dengan hormat dan menghargai kebebasan beragama setiap individu. Setiap orang berhak memilih dan memeluk agama yang diyakininya tanpa ada tekanan atau diskriminasi.
Dalam konteks pendidikan, moderasi beragama dapat diwujudkan melalui penerapan kurikulum yang inklusif. Peserta didik perlu diberikan pemahaman yang luas tentang berbagai agama yang ada, bukan hanya agama yang mereka anut. Dengan begitu, mereka dapat memahami dan menghormati perbedaan agama, serta mengembangkan sikap toleransi dan kerjasama antar umat beragama.
Selain itu, moderasi beragama juga dapat diwujudkan dalam upaya menjaga rumah ibadah pada hari raya. Saat hari raya umat beragama tertentu Ulya, (2019) memandang penting bagi kita untuk saling menghormati dan menjaga tempat ibadah mereka. Ini bukan hanya sebagai bentuk toleransi, tetapi juga sebagai pengakuan akan pentingnya kebebasan beragama dan hak setiap individu untuk menjalankan praktik agama mereka tanpa gangguan.
Dalam masyarakat yang heterogen seperti Indonesia, penting bagi pemimpin agama dan tokoh masyarakat untuk memainkan peran aktif dalam mempromosikan moderasi beragama. Mereka dapat menjadi penghubung antara berbagai komunitas agama, memfasilitasi dialog antar umat beragama, dan mempromosikan pemahaman yang saling menghormati.
Namun, perlu diakui bahwa mencapai moderasi beragama memang tidak mudah. Acapkali, ada pihak-pihak yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memecah belah masyarakat. Mereka memanfaatkan perbedaan agama sebagai sumber konflik dan memicu sentimen kebencian antar umat beragama. Diperlukan langkah-langkah yang tegas dari pemerintah untuk melindungi kebebasan beragama dan menghukum mereka yang menyebarkan intoleransi dan kebencian.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk bersatu dan berperan aktif dalam mendorong moderasi beragama. Kita perlu terus mengedepankan dialog, saling menghormati, dan bekerja sama untuk membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis. Moderasi beragama bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau kelompok agama tertentu, tetapi menjadi tanggung jawab bersama seluruh warga negara Indonesia.
Dalam kesimpulan, moderasi beragama memang harus dijadikan sebagai wadah dalam membangun negara yang maju dan harmonis. Dengan mempraktikkan nilai-nilai Pancasila yang menganut prinsip ketuhanan dan keadilan sosial, kita dapat menciptakan masyarakat yang saling menghormati, saling memahami, dan hidup dalam kerukunan.