WEWECAUSA: Anak Menjadi Mas Kawin
06/04/2021HENGE’DO DI TENGAH PANDEMI COVID-19
30/04/2021Dalihan Na Tolu merupakan falsafah suku Batak yang sudah dipraktikkan sejak kepemimpinan paraRaja Batak dan diwariskan kepada generasi saat ini. Semenjak Raja Batak di Pusuk Buhit,kepemimpinan Raja Sorimangaraja, Sisingamangaraja I sampai XII, penjajahan Belanda, Jepang,Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga saat ini falsafah Dalihan Na Tolu masih tetap terjagakeasliannya.
Dalihan Na Tolu atau “Tungku Nan Tiga” memiliki makna sistem pranata sosial patrilineal, artinyakedudukan laki-laki yang lebih utama, sehingga mengharuskan perempuan ketika sudah menikahharus mengikuti suami dan menjadi anggota kerabat suami termasuk keturunannya. Dalihan Na Toludilambangkan dengan tungku sederhana untuk memasak yang terdiri dari tiga buah batu yang samatinggi. Jika salah satu batu lebih tinggi atau lebih rendah, maka tidak ada kesejajaran dan tidak dapatdigunakan untuk memasak.
Tiga tungku ini memiliki makna adanya tiga hubungan kekeluargaan, yakni Hula-hula, boru dandongan tubu. Lebih lanjut, isi dari Dalihan Natolu sebagai berikut. Kesatu, Somba Marhula-hula,somba diartikan sebagai “sembah”, tetapi dalam konteks ini lebih tepatnya diartikan “hormat”, jadihormat kepada Hula-hula. Dalam adat Batak Toba, Hula-hula merupakan keluarga dari pihak margaistri. Suami menyebut Hula-hula sebagai Raja. Karena itu, ada ungkapan dalam adat Batak “Boru niRaja” yang artinya Putri Raja, karena memang dari dasarnya suku Batak itu adalah keterununan dariRaja-raja Batak terdahulu. Hula-hula menempati posisi paling dihormati dalam kebudayaan adatBatak karena mereka adalah sumber hagabeon/keturunan.
Kedua, Elek marboru, elek mempunyai arti membujuk atau lemah lembut, elek marboru artinyamembujuk/lemah lembut kepada boru atau anak perempuan maupun keluarga yang memperistrianak perempuan. Dalam adat Batak, boru memiliki tingkatan yang paling rendah sebagai “parhobas”atau pelayan. Posisi boru tidak memandang status, baik dia kaya maupun seorang pejabat, merekaharus “marhobas” atau melayani dalam suatu acara adat Batak. Meskipun demikian, kita harusmembujuk, melindungi ataupun lemah lembut kepada boru, karena jika mereka tidak ada, makasuatu acara adat tidak akan dapat terlaksana.
Ketiga, manat mardongan tubu, manat mempunyai makna hati-hati dan dongan tubu adalah temansemarga. Dongan tubu merupakan saudara laki-laki semarga dengan kita, seperti marga Butarbutar.Secara harfiah, dongan tubu dapat diartikan teman lahir, artinya lahir dari perut yang sama, sepertiseorang kakak dan adik yang ada di satu keluarga, hubungan mereka sebagai saudara sangat erat.Namun bisa saja terjadi konflik yang akan menimbulkan keretakan. Sebuah pepatah klasikmengatakan “Hau na jonok do na boi marsiososan”, artinya kayu yang dekatlah yang dapatbergesekan. Jadi, orang-orang terdekat kita yang bisa mendatangkan konflik karena berbagaikepentingan dan kesalahpahaman.
Lebih lanjut, secara adat setiap orang dalam adat Batak mempunyai status yang berbeda-beda padasaat acara pesta adat, ketika bere atau anak dari saudara perempuannya menikah maka statusnyadalam acara adat tersebut adalah Hula-hula, ketika marga dari istrinya mengadakan pesta adat,maka posisinya adalah boru, dan ketika teman semarganya melakukan pesta adat maka statusnyasebagai dongan tubu. Jadi, setiap orang Batak dalam sebuah acara adat pasti akan memiliki posisi itusebagai hula-hula, boru ataupun dongan tubu.
Mengakhiri tulisan ini saya menegaskan sekali lagi bahwa falsafah Dalihan na Tolu tetap dijunjungtinggi oleh masyarakat Batak Toba sejak dulu hingga sekarang baik mereka yang hidup diperkampungan maupun perkotaan. Besar harapan, walaupun telah terjadi gempuran terhadap nilai-nilai budaya akibat globalisasi, namun generasi Batak saat ini tetap menjaga, mempraktikkan dan,merawat budaya Dalihan na Tolu, sebab melalui cara ini masyarakat Batak akan tetapmarsipasangapan (saling hormat-menghormati).