Rekonstruksi Implementasi PAK Dewasa terhadap Usia Dewasa Akhir
29/03/2021Menilik Falsafah Dalihan Na Tolu Suku Batak
06/04/2021Kemajemukan menjadi keniscayaan bagi bangsa Indonesia dan ciri semenjak kelahirannya. Hal ini dapat dijumpai dalam budaya setiap suku bangsa. Wewecausa menjadi salah satu contoh nyata budaya bangsa yang berasal dari masyarakat adat Isirawa. Budaya wewecausa dapatdimaknai sebagai “anak yang akan menjadi mas kawin”. Terdapat banyak kandungan nilai adat dan teologis yang belum diketahui dan dipahami secara mendalam oleh masyarakat non Isirawa ketika menjalin hubungan persekutuan hidup sebagai masyarakat adat tetapi juga warga jemaat di Pantai Barat Kabupaten Sarmi Provinsi Papua.
Masyarakat Isirawa di Pantai Barat mayoritas Kristen dan tersebar di pesisir pantai sepanjang Pantai Sarmi, Pesisir Pantai Barat tetapi juga daerah pegunungan wilayah Kabupaten Sarmi atau di luar Papua.Walau demikian, suku Isirawa berlatar belakang hidupnya tinggal di daerah pesisir pantai sebab Isirawa berarti isi dari rawa atau penduduk dari pantai (rawa). Masyarakat ini, merupakan salah satu suku terbesar dari lima suku di wilayah Kabupaten Sarmi: Suku Sobei, Armati, Rumbuai, Manirem, dan Isirawa, yang disingkat menjadi SARMI. Dalam praktik hidup, masyarakat Isirawa adalah masyarakat adat, hal ini terlihat saat dilangsungkan ikatan perkawinan secara adat.
Dalam melangsungkan ikatan perkawinan secara adat, budaya wewacause berperan penting. Karena budaya ini bertujuan mempererat hubungan kekerabatan antar dua keluargadalam satu ikatan perkawinan, dimana jika pihak laki-laki melamar seorang perempuan dan bila kelak telah berkeluarga maka dari pihak perempuan harus dan wajib menerima mas kawin dari pihak laki-laki dalam bentuk seorang perempuan dan bukan dalam bentuk benda atau sejenisnya. Apabila pihak laki-laki tidak memiliki saudara perempuan untuk diberikan kepada pihak perempuan maka anak dari pasangan yang baru itu, harus memberi salah satu anaknya entah laki-laki atau perempuan untuk dijadikan anak mas kawin bagi pihak perempuan.Pengambilan anak-anak sebagai pengganti mas kawin, lazim dilakukan saat si anak berusia 0 tahun atau saat lahir.
Pengaturan untuk mengasuh tergantung kesepakatan keluarga pihak perempuan yang mengasuhnya bisa si orang tua perempuan, bisa juga saudara laki-laki kandungnya yang tertua atau yang muda. Namun umumnya, dalam adat Isirawa, diserahkan kepada kakak laki-laki si perempuan yang tertua. Dengan demikian anak jadi mas kawin tersebut menjadi hak penuh buat si paman tertua tersebut. Itu berarti si pamanlah yang merawat, mengurus dan membesarkannya hingga dewasa. Sedangkan orang tua kandungnya tidak lagi memiliki hak atas anak mas kawin tersebut.
Dan bila kita melihat di dalam Alkitab, ternyata praktik budaya wewecausa masyarakat Isirawa identik dengan mas kawin yang dilaksanakan masyarakat Israel Kuno. Pemberian mas kawin saat itu, tidak terbatas satu bentuk tetapi beberapa bentuk seperti pemberian seorang budak atau manusia (Kej. 24:59, 61), uang denda (1 Sam. 18:25), tanah (Hak. 1:15; 1 Raj. 9:16, harta lain (Tobit 8:21), permata dan pakaian (Kej. 24:53), pengabdian (Kej. 24:53; 29:18). Karena itu, tulisan ini akan dibatasi pada soal mas kawin dalam bentuk seorang anak atau manusia secara khusus yang dipraktikan masyarakat Isirawa.
Makna Adat dan Teologis Dalam Budaya Wewecausa
Mas Kawin dalam budaya Isirawa diberikan setelah perkawinan. Soal pemberian setelah perkawinan, F. C. Kamma berpendapat pemahaman ini didasarkan pada perkembangan aturan pemberian mas kawin dalam perkawinan didasarkan pembalasan dengan orang lain. Kalau diberi anak perempuan untuk dikawinkan maka balasannyapun dalam bentuk seorang perempuan. Model balas membalas ini yang dahulu dipakai, dimana ketika seorang dibunuh maka harus dibalas dengan si pembunuh atau membunuh seorang dari suku si pembunuh atau jika seorang perempuan yang hendak dikawinkan kepada orang lain, maka orang tersebut harus kembalikan satu orang perempuan sebagai gantinya. Dalam ilmu antropologi disebut bride exchange, artinya seorang yang melamar seorang gadis harus sedia adik perempuan atau lain kerabat wanitanya untuk diberikan kepada kaum kerabat si gadis supaya dikawinkan dengan seorang pemuda dari sana (Koentjaraningrat dkk, 1963)
Jadi dasar balas membalas itulah yang melatarbelakangi adanya wewecausa. Dan ini terjadi dalam praktik hidup masyarakat Isirawa dimana balasan dalam perkawinan adalah seorang anak yang berasal dari pasangan nikah. Mengapa anak dari pasangan nikah yang dijadikan mas kawin?. Menurut penulis, ada beberapa pertimbangan mendasari hal itu, yakni. Kesatu, kesepakatan kedua belah pihak. Dalam melangsungkan pernikahan ada prosesnya. Tentu didahului melalui pembicaraan kedua pihak. Dalam pembicaraan itu, dibicarakan kesanggupan pemberian mas kawin. Karena tidak adanya saudara perempuan dari pihak laki-laki disepakati, memberi anak kandung dari calon nikah kepada keluarga perempuan.
Kedua, Tidak ada saudara atau kerabat perempuan.Kesepakatan pemberian wewecausa dilatarbelakangi ikatan perkawinan atas dasar keinginan sendiri bukan keinginan orang tua, seperti tertulis di bukunya yang berjudul Penduduk Irian Barat: perkawinan di daerah Sarmi merupakan hasil suatu perjanjian yang lama antara orang tua, sering sejak waktu kedua orang mempelai masih kanak-kanak. Dikatakannya juga, ada perkawinan yang terjadi atas kemauan para muda-mudi sendiri, sebagai hasil pertemuan-pertemuan rahasia di hutan. Dalam budaya masyarakat Sarmi, perkawinan mulanya atas dasar perjanjian orang tua sewaktu kedua mempelai masih kanak-kanak. Lalu ketika mereka dewasa, siap untuk dinikahkan, orang tua sudah menyiapkan mas kawinnya. Lain dengan mereka yang hendak menikah atas dasar kemauan sendiri.
Ada kesulitan ditemui karena tidak ada saudara perempuan atau kerabat perempuan yang akan dijadikan mas kawin. Karena kesulitan ini, maka diadakan pembicaraan di antara kedua belah pihak untuk sepakati mas kawin dari pasangan yang hendak nikah dalam bentuk pemberian anak kandungnya kelak (wewecausa atau anak jadi mas kawin). Tentu kesepakatan ini, untuk menghindari munculnya hal-hal yang tidak diinginkan kedua pihak yaitu kawin lari. Dan hal ini dikatakan oleh Kontjraningrat selama perkawinan atas kemauan sendiri itu tidak bertentangan dengan suatu perjanjian lama, maka tidak ada kesukaran, tetapi jika ada maka si pemuda terpaksa melarikan calon isterinya.
Ciri persekutuan Kristen ditandai adanya hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan ciptaan lainnya. Selanjutnya dikatakannya pula bahwa atas dasar pemberian mas kawin maka kedua belah pihak dari laki-laki dan dari perempuan, memasuki hubungan kerja sama dalam lapangan perekonomian, sosial dan pergaulan hidup sehari-hari. Itu berarti secara teologis wewecausa, memiliki nilai persekutuan kasih diantara sesama dalam sikap hidup untuk melayani dan dilayani. Melayani dan dilayani, bukan saja untuk melayani dan dilayani Tuhan tetapi melayani dan dilayani itu berhubungan dengan kerja sama yang baik, kerjasama yang dilandasi kasih untuk melayani dan melayani. Dalam budaya wewecausa, hubungan dengan pemberian kepada pihak perempuan pun ada terkandung nilai teologis.
Nilai teologisnya adalah tanggung jawab laki-laki atas hidup dan kehidupan si perempuan yang menjadi isterinya. Si laki-laki harus memberi dan menghidupi si isteri dengan penuh tanggung jawab. Dan bila mas kawin sudah diberikan kepada pihak si perempuan, maka pihak laki-laki (oleh pemberian itu) berhak mendapat balasan berupa persen-persen, harta, dan terlebih makanan dari pihak yang telah menerima mas kawin tadi. Dan selama perkawinan itu tetap teguh maka persen-persen, harta-harta dan makanan pun selalu tukar tempat. Itu berarti ada nilai melayani dan dilayani. Bukan itu saja, tetapi hubungan diantara kedua keret yang telah terjalin lewat perkawinan itu akan bermuara ke arah nilai-nilai seperti bekerjasama di antara kedua pihak. Di mana hasil kebun, tanah, laut, dan hutan dituka, rumah-rumah dibangun bersama-sama, perjalanan yang jauh dan sebagainya, diurus bersama. Pendek kata; perkawinan cara adat dulu menjadi dasar organisasi masyarakat kuno yang memiliki nilai-nilai teologis yang patut dijelaskan baik.
Oleh sebab itu, mas kawin dibayar bukan berarti hubungan selesai tetapi sebaliknya hubungan baru terjadi dan bekerja sama baru dimulai, bergaul bersama, tolong-menolong, hingga seterusnya. Hanya saja banyak yang berprasangka, bahwa mas kawin berarti harga seorang perempuan. Pandangan ini salah, sebab mas kawin merupakan penghargaan terhadap pemeliharaan yang diberikan pada waktu lalu kepada anak perempuan-perempuan. Pemeliharaan anak laki-laki tidak dihitung, sebab pihak laki-laki yang akan mengambil alih pemeliharaan si perempuan yang seharusnya laki-laki muda harus tanggung bersama dengan anggota-anggota keretnya. Segala kelelahan yang dibuang dihitung dan dihargakan. Maka tubuh seorang perempuan yang hendak dikawinkan dihargai dan dihitung dengan kain timor; kepala, dada, tangan, perut, kaki dan lain-lain. Itu bukan berarti anggota tubuh itu menjadi besar, bertumbuh karena pemeliharaan si keret perempuan yang diberikan kepada pihak laki-laki dan harus dibalas bukan dibayar. Salah paham ditimbulkan karena selalu dikatakan dengan istilah membayar mas kawin atau membayar perempuan.
Sebenarnya istilah ini kurang tepat karena menimbulkan pemahaman yang salah dari arti sebenarnya. Mas kawin tidak diberikan kepada ibu, bapak kandung si perempuan, melainkan ke keret si perempuan pun berhak menerimanya, sebab keret si laki-laki, nantinya yang menanggung bersama-sama atas rumah tangga baru itu. Mas kawin tidak diberikan. Dahulu kala rumah tangga baru, masuk dalam rumah si laki, yaitu di lingkungan keret si laki dan itu berarti perlindungan hidup bersama-sama dan kekurangan hidup keluarga baru hampir tidak ada sebab anggota-anggota keret siap sedia menolong.
Dari uraian nilai-nilai teologis dalam budaya wewecause ternyata ada terkadung tiga nilai antara lain. Kesatu, nilai persekutuan, adanya pemahaman yang baik dari nilai-nilai teologis di dalam wewecausa membawa pengaruh bagi persektuan hidup berjemaat dalam hal persekutuan hidup berjemaat. Dimana nilai kerja sama ditransfer masuk ke dalam lingkungan gereja. Dengan demikian kegiatan gereja dilaksanakan bersama. Kedua, nilai pelayanan, dalam pelayanan nilai melayani dan dilayani dipraktikan ke dalam jemaat-jemaat yang adalah kerabat yang kurang aktif atau malas diajak untuk terlibat dalam kegiatan gereja. Ketiga, nilai tanggung jawab, dalam tanggung jawab urusan gereja bukan masalah para pejabat gereja tetapi bersama. Nilai tanggungjawab dalam wewecausa dimanfaatkan demi menyatukan warga jemaat dalam meningkatkan persekutuan hidup berjemaat.
Penulis: Godfried San Ferre, S.Si., M.Th | Dosen Teologi STAKPN Sentani