HENGE’DO DI TENGAH PANDEMI COVID-19
30/04/2021HUMA BETANG: FALSAFAH SUKU DAYAK DI KALIMANTAN TENGAH
11/05/2021Tahun 2021 menjadi ramai dengan adanya pesta pemilihan kepala kampung di Kabupaten Jayapura. Tidak lepas dari itu, sosok para calon kepala kampung yang akan dipilih pun meramaikan jalanan dengan spanduk mereka, memaparkan visi dan tidak lupa senyum ramah penuh arti. Semua karakteristik, watak, kebiasaan, tingkah laku, latar belakang pendidikan, jabatan dan semua hal baik disuarakan untuk mendapat suara dan menarik massa agar dapat dipilih. Sosok yang bagaimana yang layak untuk dipilih? Pemimpin seperti apakah yang diinginkan?
Pemimpin diibaratkan seperti tumbuhan, ia ditanam, disirami dan dipupuk agar dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik dan berbuah nantinya. Kepemimpinan adalah sebuah kemampuan di dalam diri seseorang yang membuatnya dapat mempengaruhi orang lain. Lalu, apakah kepemimpinan itu sebuah kemampuan alami ataukah kemampuan yang dapat dilatih? Seseorang terlahir sebagai pemimpin atau terlatih sebagai pemimpin? Ada orang yang dikatakan memang terlahir untuk menjadi pemimpin, namun sesungguhnya kepemimpinan itu dapat dilatih dan seharusnya memang dilatih. Suku Sentani dalam sistem adatnya dahulu sangatlah teratur.
Semua anak laki-laki dahulu dipisahkan untuk dipersiapkan di dalam rumah adat yang disebut Obhee. Untuk berburu, berperang, bertani, membuat peralatan, di dalam kelompok-kelompok ini memiliki pemimpinnya masing-masing, mereka dilatih terus menerus hingga menjadi ahli dan terampil melakukan tugas masing-masing. Sentani, dengan mayoritas agama Kristen, jelas memahami bahwa seorang pemimpin adalah orang “terpilih”, seperti Daud yang diurapi menjadi raja, ia telah dilihat dan dipersiapkan Allah. Kebiasaannya, tutur katanya, perbuatannya bahkan isi hati dan pikirannya diketahui Allah dan itu harus berkenaan di hadapan Allah.
Tidak hanya berbuah, ia harus mempertahankan keberlangsungan hidupnya dengan mempersiapkan bakal buahnya. Sentani masa kini, tidak lagi menyiapkan pemimpin dalam Obhee. Gereja dalam struktur organisasinya pun mengalami hal yang sama. Sekolah Minggu sebagai wadah pemberi dasar kepemimpinan dianggap sepele, terlalu kecil dan tidak mendapat perhatian khusus. Akibatnya, para “bakal pemimpin” untuk kampung dan gereja tidak terlatih karena tidak mau dilatih dan akhirnya kalah bersaing, Lingkungan diluar adat dan gereja pun sama mirisnya. Tingkat pendidikan yang cukup rendah bagi anak-anak di kampung, anak putus sekolah yang makin bertambah, pernikahan anak usia remaja, pergaulan bebas dan masih banyak lagi hal-hal yang menjadi faktor penyebabnya. Kemajuan yang pesat justru membuat langkah kita melambat.
Ia harus bertumbuh agar dapat menumbuhkan yang baru. Menjadi pemimpin, bukan hanya tentang berhasil dalam kepemimpinannya selama menjabat. “Seorang pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang melahirkan pemimpin.”, Hutan Sagu takkan habis apabila ada pohon sagu yang masih ditanam, pemimpin orang asli yang memimpin di tanahnya sendiri pun takkan sulit dicari apabila ada banyak anak asli yang dilatih untuk menjadi pemimpin. Memimpinlah untuk menyiapkan para pemimpin lainnya sedini mungkin. Semakin awal ditanam, semakin awal dituai. semakin rajin disiram dan dipupuki akan semakin lebat buahnya. Semakin baik buahnya, semakin baik pula bakal buahnya.
Penulis: Priska M. Felle (Mahasiswa Semester II, Program Studi S1-Pendidikan Agama
Krsiten, STAKPN Sentani)
Sumber Gambar: https://mediaindonesia.com/weekend/359157/ritual-melantik- pemimpin-adat-di-sentani