PERPADUAN METODE SOLFEGGIO DAN IMITASI
11/05/2021TAROMBO ORANG BATAK
05/06/2021Kita berdiri di abad pengetahuan, teknologi, dan sistem informasi dengan perkembangan dunia yang begitu cepat melaju, dibarengi pergeseran pada pusat pengaruh peradaban dunia yang melahirkan trend dari era revolusi industri 4.0 dan society 5.0. Konsep society 5.0 menjadi inovasi baru dari society 1.0 sampai society 4.0 dalam sejarah peradaban manusia.
Era society 5.0 diresmikan pada 21 Januari 2019 untuk mengantisipasi gejolak disrupsi akibat revolusi industri 4.0, yang melahirkan volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA). Dikhawatirkan gejolak dimaksud dapat mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan. Mantan perdana menteri Jepang Shinzo Abe menjelaskan dalam World Economic Forum (WEF), bahwa “pada era society 5.0 bukan lagi modal, tetapi data yang menghubungkan dan menggerakkan segalanya, membantu mengisi kesenjangan antara yang kaya dan yang kurang beruntung”.
Sebenarnya, konsep revolusi industri 4.0 dan society 5.0 tidak memiliki perbedaan yang jauh. Revolusi industri 4.0 menggunakan kecerdasan buatan (articial intelligence) sementara society 5.0 memfokuskan kepada komponen manusianya. Dengan kata lain, revolusi industri 4.0 menjadikan kita lebih modern karena memiliki akses terhadap teknologi dan society 5.0 adalah masa dimana teknologi-teknologi ini menjadi bagian dari manusia.
Society 5.0 menjadi konsep penting yang berpusat pada manusia dan basis teknologi. Karena, society 5.0 berupaya mensinergikan konsep digital dengan humanistik sehingga akan melahirkan keseimbangan antara tercapainya kemajuan teknologi dan peningkatan kualitas SDM yang unggul (Nusantara, 2019).
Era society 5.0 menuntut kita untuk menuntaskan beragam tantangan dan persoalan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era revolusi industri 4.0 seperti Internet on Things (internet untuk segala sesuatu), Articial Intelligence (kecerdasan buatan), Big Data (data dalam jumlah besar), dan robot untuk meningkatkan taraf hidup manusia.
Namun penting digarisbawahi tebal-tebal, di era society 5.0 nilai karakter harus dikembangkan, empati, dan toleransi harus dipupuk seiring dengan perkembangan kompetensi yang berpikir kritis, inovatif, dan kreatif. Betapapun canggihnya teknologi dan informasi yang muncul, kodrat manusia mesti tetap menjadi fundamen penataan kehidupan sosial. Dengan begitu, kita dapat memanusiakan manusia melalui kemajuan teknologi dan informasi.
Posisi Indonesia Masih Kedodoran
Memang terdengar sangat utopis terjadi. Apalagi, Republik Indonesia masih menjadi negara berkembang, kemungkinan hanya masyarakat akademik yang melek akan kemajuan zaman, pebisnis yang memiliki kepentingan pasar, atau juga pemangku kebijakan publik yang mengamati dinamika perkembangan masyarakat yang mengenal society 5.0. Baru hanya segelintir orang.
Sampai kapan seluruh rakyat Indonesia dapat membaca secara saksama tentang arah perkembangan society 5.0? Yudi Latif (2020), mengingatkan kita bahwa, ramalan banyak ahli soal tendensi kemandegan perekonomian di Eropa dan Amerika Serikat, masa depan perkembangan dunia dilukiskan sebagai era kebangkitan Asia. Namun, dalam era kebangkitan Asia itu, apakah takdir Indonesia sebagai negara besar hanyalah pelengkap penderita yang bercokol di halaman belakang dari dinamika kawasan?
Sebagai salah satu dari tiga negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia, Indonesia mestinya menjadi negara besar yang memainkan peran besar dengan menawarkan berbagai capaian besar. Namun ada banyak pekerjaan rumah yang harus Indonesia tunaikan untuk memenuhi ekspektasi tersebut. Dalam berbagai indikator menyangkut daya saing global, indeks pembangunan manusia (human development index), tingkat kemampuan literasi, numerasi, dan pemecahan masalah (berdasarkan Programme for the International Assessment of Adult Competence & Programme for the International Students Assessment), tingkat minat baca dan berbagai indikator lainnya, posisi Indonesia masih kedodoran.
Padahal Yudi Latif (2020), melihat dalam rasa keadilan Ilahi, tak ada ketentuan bahwa jalan hidup suatu bangsa harus tetap berada di pinggiran. Dari hari ke hari, firman Tuhan justru semakin membuktikan kebenarannya, bahwa di dalam sejarah kejatuhan dan kejayaan suatu kaum, manusia sendirilah pusat pengubahnya. Transformasi kehidupan suatu kaum (bangsa) tidak akan terjadi hingga manusia-manusia pada bangsa itu dapat mengubah alam kejiwaanya.
Eksistensi Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi sebagai Center of Excellence (CoE) bangsa ini dituntut memainkan peran besar untuk terus bertransformasi agar mampu beradaptasi dengan trend yang berkembang. Selain itu, kembali memperkuat kualitas pendidikan dan penelitian. Perlu diingat kembali bersama bahwa dunia pendidikan dan penelitian merupakan salah satu gerbang untuk memperbaiki peradaban umat manusia. Maju mundurnya sebuah bangsa amat ditentukan oleh kualitas pendidikan dan penelitian.
Sementara itu, khusus hasil penelitian dapat memberikan kontribusi penting dengan bobot besar untuk menetapkan peringkat dan reputasi suatu perguruan tinggi riset (university based on the research). Penelitian merupakan ciri dari perguruan tinggi besar dunia, seperti yang ditulis Levin bahwa perguruan tinggi besar dunia bercirikan adanya penelitian, pengembangan, dan penyebaran pengetahuan. Hal ini menegaskan bahwa penelitian sangat berperan dalam menentukan reputasi suatu perguruan tinggi. Dengan upaya menjadikan penelitian sebagai prioritas kegiatan perguruan tinggi (research university), maka perlu membangun suatu lingkungan yang dapat mendukung kegiatan penelitian dengan lebih baik dan berkualitas (Kholik, 2021).
Konrad Lorenz (peraih Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 1973) juga mengekspresikan dalam ungkapannya yang berbunyi: “More than any other product of human scientic culture, scientic knowledge is the collective property of all mankind”. (Mayling Oey-Gardiner dkk, 2017). Karena itu, sudah waktunya Indonesia sebagai negara besar memainkan peran penting dan secara perlahan mengatur langkah agar senantiasa terlibat aktif dalam menjawab tantangan dan kebutuhan di era super smart society.
Lebih lanjut, kehadiran masyarakat akademik yang terampil menggunakan pendekatan ilmu interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner amat dibutuhkan untuk membedah problematika di era society 5.0 dan merekomendasikan solusi terbaik. Dalam pandangan Muvid (2021), kunci sukses sebuah perguruan tinggi ialah dimana ia didukung oleh SDM yang ada di dalamnya, dan juga kemampuannya untuk “mengawinkan” antar disiplin ilmu pengetahuan menjadi interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner. Sebab, hasil kajian Kholik (2021) menunjukan bahwa, banyak persoalan yang melekat kuat dalam kehidupan manusia tidak efektif lagi dapat diselesaikan dengan pendekatan satu bidang keilmuan (monodisiplin).
Interdisipliner berarti kerjasama antar satu ilmu dengan ilmu lain sehingga merupakan satu kesatuan dengan metode tersendiri. (Khoiruddin, 2017:19) Jadi, integrasi antara satu ilmu dengan ilmu lain dapat membentuk satu ilmu baru, dengan metode baru. Multidisipliner berarti kerja sama antara ilmu pengetahuan yang masing-masing ilmu pengetahuan tersebut tetap berdiri sendiri dan dengan metode sendiri. (A.G.M. Val Melsen, 1985).
Multidisipliner disebut juga interkoneksi antar satu ilmu dengan ilmu lain hanya saja masing-masing bekerja berdasarkan disiplin dan metode masing-masing. Pendekatan multidisipliner (multidisciplinary approach) memfokuskan pada pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan. Sementara, pendekatan transdisipliner sebagai upaya mengembangkan sebuah teori atau aksioma baru dengan membangun kaitan dan keterhubungan antar berbagai disiplin.
Selain pendekatan, interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner, kata riset World Economic Forum (WEF) 2020, terdapat 10 kemampuan utama yang paling dibutuhkan untuk menghadapi era Revolusi Industri 4.0, yaitu bisa memecahkan masalah yang kompleks, berpikir kritis, kreatif, kemampuan memanajemen manusia, bisa berkoordinasi dengan orang lain, kecerdasan emosional, kemampuan menilai dan mengambil keputusan, berorientasi mengedepankan pelayanan, kemampuan negosiasi, serta eksibilitas kognitif. Kemampuan ini juga relevan dalam menghadapi society 5.0.
Kemudian, usaha lain yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi dalam meningkatkan sumber daya manusianya antara lain: (1) Motivasi meneliti, yang mencakup: peningkatan ilmu pengetahuan; (2) Kebermanfaatan bagi orang lain, & kepuasan diri; (3) Kondisi individu yang mencakup manajemen waktu, mood, self responsibility; (4) Kemampuan literasi dan penulisan ilmiah serta target dan konsistensi; (5) Budaya meneliti di kampus yang mencakup: ketersediaan fasilitas, lingkungan; (6) Kebijakan KTI untuk syarat lulus; (7) Pengetahuan tentang manfaat meneliti yang mencakup: pencarian jawaban ilmiah, pengembangan potensi, serta peningkatan kapabilitas peneliti (Ghani, 2019).
Agenda ini harus terus menerus dicanangkan dan dibudidayakan di lingkungan kampus sehingga yang terjadi adalah suatu kebiasaan untuk meneliti, membaca, menulis, mengamati, mengobservasi, berdiskusi, melakukan berbagai perkembangan dan inovasi di bidang pengetahuan, penelitian, pengajaran dan juga pengabdian. Kemudian, hal yang tidak kalah penting adalah dibarengi dengan sikap keilmuan yang komparatif sehingga pengembangan keilmuan tidak hanya satu tiang, tapi bisa bisa saling berintegrasi antara satu tiang dengan tiang lainnya.
Era society 5.0 memberikan peluang bagi para perguruan tinggi untuk meningkatkan keilmuan yang dibalut dengan kecanggihan teknologi juga tidak mengesampingkan kualitas sumber daya manusianya, sehingga paradigma yang tidak mendukung itu semua harus diubah dan diganti dengan paradigma integratif, interkonektif yang dapat melahirkan sebuah gagasan, ide dan solusi baru bagi kebutuhan-tuntutan kehidupan masyarakat global (Muvid, 2020).
Demi menapaki era super smart society sebagai penyeimbang dari revolusi industri 4.0, maka beragam upaya yang telah dipaparkan sebelumnya mesti dilakukan oleh perguruan tinggi. Sebab sebagai pusat keunggulan bangsa, perguruan tinggi memiliki beban besar yang berat untuk mencetak lulusan yang unggul dan berdaya saing yang mampu membedah persoalan kemudian menyodorkan solusi terbaik bagi pembangunan peradaban bangsa.
Penulis: Yakob Godlif Malatuny, M.Pd (Dosen pada Program Studi S1-PAK, STAKPN Sentani)