MAHASISWA DAN SEPERANGKAT SOFT SKILLS
05/06/2021Pemberdayaan Guru di Masa Pandemi COVID-19, Jurusan Musik Gereja STAKPN SENTANI Gelar Pelatihan Assessment Online Berbasis Google Form Bagi Guru Seni Budaya di Kota Sentani
28/08/2021Era disrupsi membawa transformasi nilai-nilai budaya baru ke dalam sendi-sendi kehidupan warga negara modern. Ibarat sebuah guncangan, disrupsi adalah sebuah guncangan yang terjadi antar generasi. Guncangan tersebut melahirkan sebuah teori baru yang sering disebut pasca kebenaran. Post truth adalah sebuah iklim yang terjadi tatkala emosi menjadi dominasi mengalahkan objektivitas dan rasionalitas. Dampak yang ditimbulkan dari hal ini adalah orang-orang sudah tidak lagi menghiraukan kebenaran informasi yang diperoleh. Dalam kata lain, post truth mengakibatkan relativitas sebuah kebenaran.
Kebenaran menjadi tidak penting dan lebih mengutamakan kebenaran menurut peribadinya sendiri daripada sebuah fakta dari sebuah informasi. Salah satu bentuk informasi yang sering dijumpai di media sosial adalah meme. Meme adalah bentuk transmisi budaya melalui replikasi ide dan gagasan yang merasuk ke dalam kognisi manusia. Meme erat kaitannya dengan sebuah satire dalam bentuk gambar atau ilustrasi sebagai sebuah reaksi terhadap momentum tertentu.
Momen tersebut biasanya terkait isu-isu yang sedang ramai menjadi perbincangan publik di jagat media sosial terutama bentuk kritik warga digital terhadap sebuah kebijakan ataupun aktivitas para politisi. Fenomena meme ini begitu sangat menarik bila dikaji dalam dimensi pendidikan kewarganegaraan terutama dari aspek transfomasi nilai-nilai partisipasi warga negara yang konvensional ke arah digital.
Meme erat kaitannya dengan proses replikasi berbagai informasi dalam akal budi manusia, yang keberadaannya terkait dengan berbagai peristiwa sosial sehingga tercipta lebih banyak salinan meme. Meme dalam internet dapat dimaknai sebagai bentuk replikasi seperti gambar, link, video, ataupun tautan lainnya. Kendati demikian, dalam istilah populer di media massa, meme lebih dikenal sebagai replikasi gambar yang diberi tautan teks dan bersifat kontekstual dengan topik yang dimaksudkan.
Pada praktiknya, meme ternyata tidak hanya hadir sebagai sebuah parodi akan keadaan sosial masyarakat seperti canda gurau mahasiswa ataupun hal lain yang sifatnya lelucon belaka. Meme berkembang menjadi sebuah gaya komunikasi baru yang ternyata mampu mengandung muatan politik atau sarana guna mengkritisi kebijakan elit negara.
Tak pelak, jika fenomena meme menjadi sebuah bentuk demokrasi digital gaya baru yang sekaligus menunjukkan genre gaya berkomunikasi di era media baru sebagai wujud dari participatory digital culture.
Media baru memberikan ruang baru dalam berdemokrasi. Model demokrasi ini disebut sebagai demokrasi digital yang dide niskan sebagai pemanfaatan teknologi komunikasi guna memajukan partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi. Melalui internet, masyarakat dimungkinkan untuk melakukan berbagai eksperimen dan inovasi desain komunikasi ketika dihadapkan dengan wakil-wakil politik mereka terkait kebijakan yang dijalankan. Inovasi dan eksperimen desain komunikasi itulah yang pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut sebagai meme. Perlu dicatat, bentuk dan variasi meme bersifat kontemporer dan kontekstual, bergantung pada kondisi masyarakat tempat meme tersebut hadir dan menyebar di internet.
Cepatnya daya sebar meme melalui jejaring sosial maupun situs-situs internet, serta kemampuannya mereplikasi diri, relevan dengan konsep Henry Jenkins. Konsep tersebut adalah tentang salah satu karakteristik produk media baru di mana produk media baru harus selalu menyebar, dan bila tidak maka ia akan musnah. Salah satu produk dari media baru itulah yang kini dikenal dengan istilah meme yang menyebar lewat cara imitasi, difusi, dan replikasi secara terus menerus sesuai konteks tempat meme itu dihasilkan.
Meme adalah bentuk dari interaksi para agen dalam struktur internet itu sendiri. Internet adalah sebuah sarang kultur partisipatoris yang tidak terbatas untuk mengungkapkan ekspresi, sehingga sangat memungkinkan bagi individu untuk berkreasi dan membagikan hasil kreasinya. Kultur partisipasi ini menghasilkan apa yang disebut dengan meme. Berbagai replikasi meme berkreasi dan menyebar luas seperti virus dan menjadi bagian dari demokrasi digital yang dikenal sekarang. Menjadi bagian demokrasi karena meme yang tersaji di internet tak jarang mempunyai muatan politik hasil karya agen-agen media baru yang merepresentasikan sebuah sudut pandang dan wacana tertentu.
Pada akhirnya, meme akan menghasilkan apa yang disebut sebagai memory traces, yaitu struktur yang dapat dilihat sesuai dengan konteks di mana struktur itu terbentuk. Meme yang muncul dalam sebuah fenomena sosial politik tertentu menunjukkan struktur dan narasi yang dibentuk para agen pada saat isu itu berlangsung. Hal ini, dengan demikian, akan dicatat sebagai artefak demokrasi digital.
Demokrasi digital memungkinkan individu untuk berkreasi dengan mereplikasi gambar dan teks sehingga hadirlah meme bertema politik. Bila diperhatikan, meme selalu bersifat parodi dan mengemas realitas dengan jenaka. Melalui cara ini, publik mengartikulasikan, mengevaluasi, sekaligus menghakimi wacana sosial politik secara demokratis dan satire.
Tidak ada batasan atau ketakutan bagi publik untuk berpendapat sekaligus berkreasi dengan membuat berbagai meme. Hal paling menarik terkait demokrasi digital dalam fenomena meme ini adalah tidak adanya klaim ownership atau kepemilikan dari sebuah gambar yang diubah sedemikian rupa. Batasan tentang kepemilikan, dengan demikian, menjadi semakin kabur dan gambar-gambar tersebut menjadi milik komunal netizen. Aktivitasnya menjadi bagian dari globalisasi dan demokrasi di internet dan menunjukkan dinamika masyarakat.
Di Indonesia, gaya berdemokrasi dengan melontarkan komentar dalam bentuk meme termasuk dalam instrumen demokrasi partisipatoris di internet dan tergolong sebagai bentuk resistensiResisten, karena meme tak jarang bertentangan dengan kebijakan para penyelenggara negara. Seiring dengan perkembangannya, unsur sarkastik dan ironi selalu dijadikan cara untuk mengartikulasikan informasi dan pendapat yang bermuatan sosial maupun politis.
Secara terbuka, netizen yang bertindak sebagai pengguna media baru mengeluarkan pendapat mereka. Tidak ada lagi batasan dari otoritas layaknya di media massa konvensional. Di dalam sebuah kultur partisipatoris internet, batas antara pengguna dan konsumen menjadi semakin kabur. Di satu sisi netizen adalah konsumen pesan- pesan internet. Di sisi lain, mereka juga dapat memproduksi pesan tersebut dengan cara berkreasi dengan meme. Meme sebagai bagian dari media baru membentuk stuktur narasinya sendiri secara ekspresif. Struktur dalam strukturasi tidak pernah berdiri secara absolut. Netizen mempunyai hak penuh untuk berpendapat sekaligus bernarasi melalui apa yang disebut meme, sebagai wujud dari partisipasi mereka di dalam demokrasi digital.
Mengenai adanya dua kutub yang bertentangan dalam sebuah perbincangan publik menjelaskan bahwa dalam lingkup iklim internet, kemunculan sebuah counter-meme sangat mungkin terjadi). Semua itu adalah hasil dari lingkungan media internet di mana setiap penggunanya diberikan ruang untuk terlibat dalam aktivitas interperetasi kreatif secara partisipatoris dan inilah yang membedakannya dengan media-media konvensional berdasarkan sifatnya, meme di internet dapat muncul dalam dua bentuk, yaitu apathetic dan resistance. Maksudnya, meme dalam internet bisa berarti acuh atau tidak mempersoalkan sebuah kebijakan, tetapi bisa pula resisten terhadapnya Acuh berarti meme tersebut mewacanakan sikap apatis terhadap sebuah isu yang digulirkan pemerintah atau pemangku kebijakan.
Penulis: Fajar Setyaning Dwi Putra, M.Pd (Wakil Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Insan Cendekia Mandiri)