TAROMBO ORANG BATAK
05/06/2021KEWARGAAN DIGITAL: MEME DAN BUDAYA KRITIK VIRTUAL DI ERA POST TRUTH
28/06/2021Aristoteles Filsuf dari Yunani (384-322 SM) jauh-jauh hari telah menekankan bahwa “mendidik pikiran tanpa mendidik hati adalah bukan pendidikan sama sekali”. Ironi bila manusia memiliki alam kejiwaan yang memancarkan fajar budi yang dapat ditumbuhkembangkan melalui proses pendidikan berazas keadaban untuk mempertinggi derajat kemanusiaan, namun berbalik arah pada proses pendidikan yang berorientasi pada penguasaan keterampilan teknis (hard skills) demi memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis sehubungan dengan kepentingan industri hari-hari ini.
Memang kita harus mengakui bahwa hard skills menjadi modal bagi kita agar survive di era industri 4.0, namun untuk memelihara hidup-tumbuh ke arah kemajuan di society 5.0, maka proses pendidikan yang mengasah ketajaman keterampilan non teknis (soft skills) amat penting dilakukan. Penggunaan kecerdasan buatan (arti cial intelligence) seperti kecanggihan teknologi dengan bekal kemampuan intelegensi (IQ) menjadi penting, namun kecakapan mengenal diri (self-awareness) atau kemampuan personal (personal skill), kecakapan berpikir rasional (thinking skill), dan kecakapan sosial (social skill) adalah seperangkat soft skills yang memegang kunci sukses bagi seseorang dalam menata kemajuan hidup.
Hasil riset Harvard University, Carnegie Foundation dan Stanford Research Center Amerika Serikat mengon rmasi hal dimaksud bahwa “soft skills berada pada angka 85% untuk kesuksesan karier seseorang, sementara hanya 15% disematkan kepada hard skills. Hasil kajian Depdiknas RI tahun 2009 menunjukan “seseorang yang memiliki soft skills 85% menjadi lebih sukses dalam pendidikan. Thomas J. Ne dan James M. Citrin (1999) penulis menulis buku Lessons From The Top menegaskan “kunci sukses seseorang ditentukan oleh 90% soft skills dan hanya 10% ditentukan oleh hard skills”.
Lebih dari itu, hasil survei National Association of Colleges (NACE) tahun 2002 di Amerika Serikat, terhadap dari 457 pengusaha, dengan cara mengajukan 20 variabel kualitas yang dianggap mempunyai hubungan langsung dengan kesuksesan karier seseorang dalam pekerjaan, diperoleh hasil bahwa, Indeks Prestasi (IP), yang selama ini menjadi tolak ukur utama dalam mendeskripsikan kualitas hasil didik dari sebuah perguruan tinggi, ternyata hanya menduduki urutan ke-17 dari 20 variabel yang disurvei. Terhadap variabel kualitas yang penting dan cenderung bersifat tidak terlihat wujudnya (intangible) yaitu soft skills.
Tidak heran bila sebanyak 77% pengusaha sepakat dalam proses perekrutan karyawan, soft skills dijadikan pertimbangan yang posisinya sama penting dengan hard skills (Paolini, 2015). Jadi, dewasa ini soft skills menjadi faktor penting yang dipertimbangkan oleh banyak pihak dalam pengembangan karier lulusan di masa depan, selain keterampilan teknis yang harus dimiliki.
Baskara, (2002) menggolongkan soft skills ke dalam tiga aspek. Kesatu, kecakapan mengenal diri (self-awareness) atau kemampuan personal (personal skill). Kecakapan ini meliputi: (1) penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga negara; (2) menyadari dan mensyukuri kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki serta menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan diri sebagai pribadi yang bermanfaat bagi sesama.
Kedua, kecakapan berpikir rasional (thinking skill). Kecakapan ini meliputi: (1) kecakapan menggali dan menemukan informasi (information searching); (2) kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan (information processing and decision making skills); dan (3) kecakapan memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skills).
Ketiga, kecakapan sosial (social skill). Kecakapan ini meliputi: (1) kecakapan komunikasi dengan empati (communication skills); (2) kecakapan bekerjasama (collaboration skills); (3) kecakapan kepemimpinan (leadership); dan kecakapan memberikan pengaruh (in uence).
Aktivitas masyarakat akademik tidak boleh hanya berkutat pada pengembangan hard skills yang mengandalkan IQ, melainkan soft skills agar memberi wahana kepada mahasiswa untuk belajar olah rasa dan karsa dengan mengasah daya-daya afektif. Pendidikan tinggi mesti menghilangkan diskriminasi mahasiswa berdasarkan kecerdasan tertentu, yang membuat mahasiswa dengan kecerdasan lain dianggap sampah masyarakat (Yudi Latif, 2020).
Orientasi pada pemulihan ragam kecerdasan mengandung konsekuensi bagi dunia pendidikan tinggi. Perlu ada pemahaman terhadap mahasiswa. Bahwa sesungguhnya tidak ada mahasiswa sampah. Yang ada adalah setiap mahasiswa memiliki keunikan dan potensi kecerdasan yang berbeda-beda. Karena itu, perlu ada perubahan sistem perkuliahan.
Pembelajaran Berbasis Soft Skills
Perguruan Tinggi sebagai pusat keunggulan bangsa dituntut memainkan peran sentral untuk mencetak lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dalam kancah persaingan di era society 5.0. Pada sisi lain, dunia kerja (perusahaan-perusahaan, organisasi nirlaba, instansi pemerintah atau organisasi lain yang membutuhkan tenaga kerja) selaku konsumen atau pengguna jasa tenaga kerja, selalu mempertanyakan tenaga kerja kelulusan perguruan tinggi yang dirasakan tidak siap pakai.
Dalam perkembangan berbagai jenis pekerjaan yang melibatkan banyak orang dengan kemampuan dan keterampilan yang berbeda-beda, maka perlu ditunjang dengan soft skills. Karena itu, ketajaman soft skills mahasiswa mesti diasah secara matang oleh dosen. Muhmin (2018), mengusulkan proses pembelajaran berbasis soft skills di perguruan tinggi dapat dikembangkan melalui kegiatan perkuliahan dengan tiga alternatif cara.
Kesatu, pembelajaran soft skills dapat dilakukan melalui mata kuliah yang berdiri sendiri. Jika cara ini yang dipilih, maka sang dosen harus memastikan bahwa dalam struktur kurikulumnya ada mata kuliah soft skills. Pada bagian ini, proses pembelajaran perlu diarahkan pada dua aspek pembelajaran, yaitu tujuan dan materi yang berbasis soft skills. Pada aspek tujuan, dosen harus memastikan bahwa tujuan perkuliahan yang harus dicapai oleh para mahasiswa adalah gabungan dari tiga ranah pembelajaran yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif.
Karena sifatnya gabungan, maka tujuan perkuliahan bukan hanya menekankan pada hafalan dan penguasaan jenis soft skills dan bentuk-bentuknya, juga bukan hanya menekankan pada keterampilan mempraktikkan jenis soft skills dan bentuk- bentuknya dalam kehidupan nyata mahasiswa, melainkan juga memfokuskan pada kepribadian para mahasiswa, terutama terkait penumbuhan rasa percaya diri sehingga menjadi manusia utuh yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang mengendalikan dirinya dengan konsisten dan memiliki rasa empati.
Kedua, pembelajaran soft skills lewat metode perkuliahan dan mengintegrasikannya ke dalam mata kuliah tertentu. Jika cara ini yang dipilih, para dosen perlu menekankan pada dua aspek, yaitu: aspek pendekatan dan aspek metode perkuliahan. Pada aspek pendekatan, dosen perlu menggunakan pendekatan Student Centered Learning (SCL) sebagai pilihan utama dalam proses perkuliahan. Pendekatan ini berkonsekuensi pada perubahan cara pandang dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Melatih berpikir analitis, kreatif, berpikir kritis, dan manajemen waktu dapat dilakukan pendekatan SCL.
Ketiga, melalui dosen sebagai role model bagi mahasiswanya. Yang dimaksud dosen role model di sini adalah seorang dosen yang berfungsi sebagai contoh, yang perilakunya ditiru orang lain. Mahasiswa akan mudah mengikuti kata-kata dosennya, jika ada contoh riil darinya. Jika seorang dosen berkata pentingnya dialog dalam memecahkan permasalahan tertentu, namun sang dosen tidak pernah sedikitpun melakukan langkah tersebut maka mahasiswa akan mengabaikan pernyataannya tersebut. Jika cara ini yang dipilih, para dosen harus siap menjadi teladan dalam penerapan soft skills dalam kehidupan nyata di lingkungan perguruan tinggi. Perlu diketahui bahwa keteladanan lebih mudah diserap daripada teori-teori yang kering. Karena itu, jangan pernah mengajarkan apa yang tidak pernah dipraktekkan oleh dosen.
Dosen sebagai ujung tombak mesti mengubah mindset sistem pembelajaran dari sisi pengetahuan, dulu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sudah jadi, tinggal dipindahkan dari dosen ke mahasiswa. Namun sekarang pengetahuan adalah hasil konstruksi atau hasil transformasi seseorang yang belajar. Dulu belajar adalah menerima pengetahuan (pasif-reseptif), sekarang belajar adalah mencari dan mengkonstruksi (membentuk) pengetahuan aktif dan spesik.
Dulu mengajar adalah menjalankan sebuah instruksi yang telah dirancang, namun kini menjalankan berbagai strategi yang membantu mahasiswa untuk dapat belajar. Adapun pada aspek metode, para dosen harus menggunakan berbagai metode dalam proses perkuliahan. Lewat beragam metode, dosen dapat menginternalisasikan dan mengimplementasikan soft skills dalam proses perkuliahan. Dengan cara demikian maka perguruan tinggi akan mencetak lulusan kompetitif dan siap terjun bekerja menjawab tantangan di era society 5.0.
Penulis: Albertus Y. Fatlolona, M.Pd (Pegawai STAKPN Sentani)